Berabad-abad sebelum berinteraksi dengan karya dialektika Aristoteles, umat Islam telah mempraktekkan budaya perdebatan. Mereka menggambarkan tradisi argumentatif ini dengan berbagai konsep, seperti al-hijā’ (satire) dan al-naqā’iḍ (flytings/kompetisi dalam puisi), mujādalah (polemik) dalam konteks Qur’an, khilāf (disagreement/perbedaan pandangan), dan jadal (dialectical/debat) dalam ilmu hukum dan teologi.
Tulisan di bawah ini akan fokus ada jadal. Rujukan utamanya ialah tulisan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mohammad Syifa Amin Widigdo yang berjudul “Aristotelian Dialectic, Medieval Jadal, and Medieval Scholastic Disputation”. Artikel yang ditulis dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini terdapat dalam The American Journal of Islamic Social Sciences volume 35 Nomer 4 yang terbit tahun 2018. Dalam tulisan ini, Syifa menguraikan aspek historis dari jadal dalam tradisi sejarah intelektual Islam.
Pengaruh Aristoteles terhadap intelektual Muslim dimulai saat para sarjana, terutama teolog (mutakallimūn), pertama kali menghadapi karya dialektika Aristoteles. Khalifah al-Mahdī (w. 169/785) memerintahkan untuk menerjemahan buku Aristoteles “Topics” pada tahun 165/782. Ia juga meminta para teolog Muslim merespons argumen golongan heretik (pelaku bidah) dan skeptis (para filsuf) dengan mengintegrasikan dialektika (jadal) dalam praktik dan karya ilmiah mereka. Tujuannya hanya satu: membela akidah Islam.
Yaḥyā b. Muḥammad b. Isḥāq b. Rīwandī (w. 298/910), atau lebih dikenal sebagai Ibn Rīwandī, seorang teolog terkemuka, menulis risalah berjudul “Ādāb al-Jadal” pada akhir abad ketiga atau awal abad keempat. Setelah itu, tulisan-tulisan jadal teologis lainnya muncul, baik untuk mengkritik atau membela Ibn Rīwandī, seperti dalam kasus al-Kaʿbī al-Balkhī (w. 319/931) dan al-Asyʿarī (w. 319/931). Tulisan-tulisan tersebut lebih fokus pada pengembangan teori jadal, dengan tujuan mencapai kebenaran, mengalahkan lawan, atau membela posisi teologis tertentu dari tantangan eksternal.